CARI DI GOOGLE

ALUMNI UT

Rabu, 02 Juli 2025

Antara Miscommunication dan Pecah Kongsi

Dalam setiap hubungan—baik itu persahabatan, kerja sama bisnis, maupun tim kerja—komunikasi menjadi fondasi utama. Namun, sering kali yang menjadi akar masalah bukanlah perbedaan tujuan atau nilai, melainkan miscommunication alias kesalahpahaman. Yang lebih menyedihkan, miscommunication yang dibiarkan berlarut justru bisa berakhir pada pecah kongsi, yaitu putusnya hubungan kerja sama yang sebelumnya terjalin baik.

Awal dari Retaknya Hubungan

Kesalahpahaman bisa muncul dari hal-hal yang tampak sepele: nada bicara yang salah ditafsirkan, pesan yang tidak dibalas, atau ekspresi wajah yang keliru dimaknai. Dalam dunia kerja sama, ini bisa berupa perbedaan ekspektasi, ketidakjelasan pembagian tugas, atau asumsi yang tidak pernah dikonfirmasi.

Ketika komunikasi tidak terbuka dan tidak diluruskan, perasaan tidak enak, curiga, hingga kecewa mulai tumbuh. Ketidakpuasan dipendam. Kesal tidak diucapkan. Dan saat itulah bom waktu mulai berdetak.

Pecah Kongsi: Akhir dari Sebuah Cerita

Pecah kongsi biasanya bukan terjadi karena satu kejadian besar, melainkan akumulasi dari masalah kecil yang tak pernah diselesaikan. Dalam banyak kasus, pihak-pihak yang terlibat bahkan tidak sadar bahwa mereka sedang berjalan menuju perpisahan. Tiba-tiba saja, ada yang memilih mundur. Ada yang merasa dikhianati. Ada pula yang merasa lebih baik jalan sendiri.

Padahal, jika sejak awal komunikasi dibangun dengan jujur, terbuka, dan penuh empati, mungkin semuanya bisa diselamatkan.

Alih-alih menyelesaikan secara terbuka dan dewasa, satu pihak memilih mencari pembenaran dari orang lain. Bercerita dengan versi sendiri, mencari simpati, dan menyelipkan narasi seolah-olah keretakan hubungan adalah sesuatu yang "tak terelakkan". Labelnya pun diberi nama yang terdengar wajar: pecah kongsi.

Namun, yang menarik (dan menyedihkan), justru orang ketiga yang diajak "bercerita" itulah yang kemudian memanfaatkan keadaan. Dengan dalih membantu atau menjadi penengah, dia malah mengambil alih ruang keputusan. Pelan tapi pasti, pengaruhnya tumbuh—hingga akhirnya, dia yang mengarahkan ke mana hubungan itu harus berakhir.

Tanpa disadari, yang tadinya hanya miskomunikasi berubah jadi perpecahan. Bukan karena masalahnya terlalu besar, tapi karena diserahkan kepada orang yang salah. Pecah kongsi pun bukan lagi keputusan bersama, melainkan hasil manipulasi yang dibungkus seolah-olah itu jalan terbaik.

Seringkali, konflik tidak membesar karena inti masalahnya, tetapi karena cara kita menanganinya. Ketika kita tidak menyelesaikan masalah langsung dengan orang yang terlibat, tapi malah mencari pembenaran ke luar, kita membuka pintu untuk manipulasi. Dan saat keputusan penting dibuat berdasarkan pengaruh luar, bukan komunikasi dalam, maka hasilnya pun sering tak adil.

Pecah kongsi kadang perlu—tapi pastikan itu karena kita sudah mencoba berkomunikasi, bukan karena kita lari dari komunikasi dan membiarkan orang lain yang mengambil alih kemudi.

Membangun Komunikasi yang Sehat

Agar tidak berujung pada pecah kongsi, penting bagi siapa pun yang terlibat dalam hubungan profesional atau pribadi untuk:

  1. Aktif mendengarkan – Bukan sekadar menunggu giliran bicara, tapi benar-benar memahami maksud lawan bicara.
  2. Berani mengungkapkan perasaan dan pendapat – Tidak menyimpan ganjalan terlalu lama.
  3. Menghindari asumsi – Selalu klarifikasi jika ada hal yang tidak jelas.
  4. Membuka ruang evaluasi – Secara berkala, evaluasi kerja sama dan saling memberi masukan.

Penutup

Miscommunication adalah sesuatu yang bisa diperbaiki. Tapi ketika dibiarkan tanpa penyelesaian, ia bisa merusak hubungan yang sudah dibangun bertahun-tahun. Pecah kongsi memang kadang tak terhindarkan, namun akan jauh lebih baik jika kita bisa menghindarinya dengan komunikasi yang sehat.

Karena pada akhirnya, bukan perbedaan yang memisahkan kita—tapi ketidakmampuan kita untuk saling memahami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar